BAB I
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memnberikan rahmat, karunia dan berkahNya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini walaupun tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Shalawat beriring salam ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah mengantar umatnya kealam yang penuh harapan dan cita-cita yang ditandai dengan lahirnya sebuah peradaban yang cemerlang. Makalah ini belumlah merupakan makalah yang memadai sertajauh dari kesempurnaan, oleh karena itu sarandan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat diharapkan, agar makalah ini lebih mendekati titik kesempurnaan.
Selanjutnya, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Terlebih lagi kepada Bapak Dosen Pengampuh Mata Perkuliahan Hukum Tata Negara, yang telah membimbing kami dalam proses belajar mengajar di kelas maupun diluar kelas. Akhirnya, kepada Allah SWT jualah dimohonkan semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua pembaca pada umumnya.
BAB II
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak zaman Yunani kuno istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatuu naskah yang tertulis. Ini dapat dibuktikan pada faham Aristoteles yang membedakan istilah politeia dan nomoui. Politeia diartikan sebagai konstitusi sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa. Diantara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politeia mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi, karena politeia memiliki kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai berai.[1]
Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan ucapan Resblica constituere. Dari sebutan inilah lahir semboyan yang berbunyi, “ Prinsep Legibus Solutus es, Salus publica suprema lex” Yang artinya, rajalah yang berhak menentuka organisasi atau struktur daripada negara, oleh karena ia adalah satu-satunya pembuat undang-undang.
Dalam abad pertengahan juga sudah dikenal orang tentang konstitusi, tetapi dengan sebutan lain. Dalam abad menengah timbul suatu aliran yang disebut monarcho machen.[2]Untuk mencegah agar raja tidak berbuat sewenang-wenang maka golongan ini menghendaki suatu perjanjian dengan raja. Aliran ini terutama terdiri dari golongan calvinis[3], yang menuntut pertanggungjawab raja dan jika perlu raja bisa dipecat dan di bunuh.
Konstitusi dengan istilah lain Constitution atau Verfassungdibedakan dari Undang-Undang Dasar atau Grundgezets. Karena suatu kekhilafan pandangan oraang mengenai konstitusi negara modern, maka pengertian konstitusi disamakan dengan Undnag-undang dasar. Begitu besar faham kodifikasi, sehingga setiap pearturan hukum harus ditulis dan konstitusi yang ditulis itu adalah UUD. Herman Heller membagi konstitusi dalam tiga pengertian, yaitu :[4]
a. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum atau dengan perkataan lain konstitusi masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan pengertian hukum.
b. Baru setelah oraang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaedah hukum, maka konstitusi itu disebut recht verfassung.
c. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai Undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Jadi, jika pengertian Undang-Undang Dasar itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka arti dari Undang-undang Dasar baru merupakan sebagian dari penngertian konstitusi yang ditulis (Die geschrieben Verfassung). Kesalahan dari faham modern terletak pada penyamaan arti dari Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan Konstitusi itu sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata-mata tapi juga bersifat sosiologis dan politis.[5]
Suatu Rechtverfassung memerlukan dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat mengenai bentuk bentuknya dan syarat mengenai isinya. Bentuknya sebagai naskah tertulis yang merupakan Undang-Undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Isinya merupakan peaturan yang bersifat fundamental artinya, bahwa tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal yang bersifat pokok,dasar atau asas-asas saja. Pengkhususan atau pelaksanaan dapat diatur dalam dalam peraturan-peraturan yang lebih rendah, yang lebih mudah di robah sesuai dengan kebutuhan zaman.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah perumusan awal konstitusi di Indonesia?
2. Bagaimanakah periodisasi konstitusi di Indonesia?
3. Mengapa konstitusi di Indonesia mengalami perubahan dari awal perumusan hingga Reformasi?
4. Bagaimanakah cara merubah sebuah konstitusi?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Menjelaskan tentang perumusan awal konstitusi di Indonesia.
2. Menjelaskan periodisasi konstitusi di Indonesia.
3. Menjelaskan alasan konstitusi di Indonesia mengalami perubahan dari awal perumusan hingga reformasi.
4. Menjelaskan tentang tata cara perubahan konstitusi.
D. MANFAAT PENULISAN
Dengan mempelajari Sejarah konstitusi dan periodisasi konstitusi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga reformasi dapat meningkatkan wawasan pembaca tentang pengertian konstitusi dan bagaimana perjalanan konstitusi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Disamping itu untuk mengetahui pasal-pasal apa saja yang mengalami perubahan dalam UUD 1945.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PERUMUSAN AWAL KONSTITUSI DI INDONESIA
Sebagai Negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangaat panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepang dikenal dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian, 2001:59)[6]
Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang kemudian dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45). Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul WACHID hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).
Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan penjajahan Belanda”.
Sejak saat itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda serta membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang, sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya. Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan tiba.
Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut:
a. Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
b. Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
c. Memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
d. Pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi komite Nasional.
e. Dengan terpilihnya presiden dan wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara formal Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
- Rakyat, yaitu bangsa Indonesia.
- Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil.
- Kedaulatan yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan Indonesia.
- Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara.
Telah dijelaskan bahwa Undnag-Undang Dasar 1945 disusun oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian di lanjutkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan disahkan oleh PPKI. Jelas bahwa kedua badan tersebut bukan konstituante atau badan yang dapat disamakan dengan itu seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum.
Prof. Ismail Sunny dalam bukunya “ Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” menyebut bahwa kesahan Undang-Undang Dasar 1945 harus dipertimbangkan dengan menunjuk kepada berhasilnya revolusi Indonesia. Jadi karena revolusi Indonesia berhasil, maka apa yang dihasilkan oleh revolusi itu-Undang-Undang Dasar 1945 adalah sah.[7]
B. PERIODISASI KONSTITUSI DI INDONESIA
1. Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik yang baru ini belum mempunyai Undang-Undang Dasar. Baru sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disahkan Undang-Undnag Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Berlainan dengan Undang-Undang Dasar 1949 yang dengan tegas dinyatakan dalam pasal 186 bahwa sifatnya sementara, maka Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada keterangan tentang hal tersebut. Namun, kalau dibaca Undang-undang Dasar 1945 dimana dalam pasal III ayat (2) aturan tambahan disebutkan, akan dibentuk Majelis Permusyawaratan menurut pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 salah satu tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar, maka ini berarti bahwa selama Majelis Permusyawaratan Rakyat belum menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar yang tetap, tidak bisa lain sifatnya adaalah sementara.
2. Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia, ternyata tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali berkuasa di Indonesia. Ternyata mengembalikan Hindia Belanda seperti sebelumnya Jepang datang ke Indonesia adalah tidak mudah. Dan akibatnya Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara seperti Negara Sumatra Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Taktik Belanda dengan adanya negara-negara itu akan meruntuhkan kekuasaan Republik Indonesia.
Sejalan dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Akibat dari hal ini kemudian dan pengaruh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka di Den Haag diadakan Konferensi Meja Bundar dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia, B.F.O (Bijeenkomst voor federal Overleg) dan Nederland serta sebuah komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Dalam konferensi itu dihasilkan tiga buah persetujuan pokok, yaitu :
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat;
2. Penyerahan Kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat;
3. Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
- Sedangkan persetujuan penyerahan kedaulatan terrdiri dari tiga persetujuan, yaitu :
a. Piagam penyerahan kedaulatan.
b. Status Uni.
c. Persetujuan perpindahan.
Rencana Undang-Undang Dasar untuk Negara Republik Indonesia Serikat dibuat oleh delegasi B.F.O pada Konferensi Meja Bundar tersebut, rencana tersebut diterima oleh kedua belah pihak dan mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 yang sebelumnya pada tanggal 14 Desember 1949 telah disetujui oleh Komite Nasional Pusat sebagai badan perwakilan rakyat di Republik Indonesia.
Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat, maka Republik Indonesia hanyalah merupakan salah satu Negara Bagian dalam Republik Indonesia Serikat, dan wilayahnya sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) adalah daerah yang disebut dalam persetujuan Renville[8]. Undang-Undang Dasar 1945 yang semula berlaku untuk seluruh Indonesia maka mulai tanggal 27 Desember 1949, hanya berlaku dalam wilayah Negara Bagian Republik Indonesia.
Atas dasar pertimbangan bahwa sebetulnya badan yang membentuk Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat kurang representatif, maka dalam pasal 186 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat disebutkan bahwa Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstituusi Republik Indonesia Serikat. Dan dari bunyi pasal ini jelaslah bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat bersifat sementara.
3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (27 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
Periode federal dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (1949) merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menghendaki sifat kesatuan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadi penggabungan dengan Republik Indonesia, sehingga akhirnya tinggal tiga negara bagian yaitu Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Hal ini jelas mengakibaatkan wibawa dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang. Akhirnya dicapailah kata sepakat antara Republik Indosia Serikat yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera, dan Republik Indonesia untuk mendirikan kembali negara kesatuan Republik Indonesia.
Perssetujuan tersebut dituangkan dalam suatu persetujuan 19 Mei 1950 di mana dicapai kata sepakat akan mendirikan kembali Negara Kesatuan sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagi negara yang akan didirikan itu jelas perlu adanya suatu Undang-Undang Dasar yang baru. Dan untuk itu dibentuklah suatu Panitia bersama yang menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950, dan berlakulah Undang-Undang Dasar baru itu pada taggal 17 Agustus 1950.
Jalan yang ditempuh untuk memperlakukan Undang-Undang Dasar 1950 (UUD 1950) ini dengan mempergunakan pasal 190, pasal 127 a dan pasal 191 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat yaitu pasal-pasal tentang perubahan Undang-Undang Dasar, maka dengan Undang-Undang Federal no.7 tahun 1950 Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat No. 56, resmilah Undang-Undang Dasar 1950 berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950.
Sama halnya dengan Undang-Undang Dasar 1949, juga Undang-Undang Dasar 1950 ini bersifat sementara, hal ini jelas disebutkan dalam pasal 134, dimana di haruskan Konstituante bersama dengan pemerintah menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar 1950. Hal ini disebabkan karena badan yang menyusun UUD 1950 merasa dirinya kurang representatif, sama hal nya dengan badan yang menyusun Undang-Undang Dasar 1949.
Berbeda dengan UUD 1949, yang tidak sempat mewujudkan konstituante, maka dibawah UUD 1950 sebagai realisasi dari pasal 134 tersebut telah dilaksanakan pemilihan umum pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Pemilihan umum ini dilaksanakan berdasarkan UU No.7 tahun 1953. Dan sebagai hasilnya pada tanggal 10 November 1956 di Bandung diresmikanlah Konstituante.
Sementara konstituante yang telah bersidang selama kurang lebih dua setengah tahun belum dapat menyelesaikan tugasnya maka situasi di tanah air sedemikian rupa sehingga dikhawatirkan akan timbul perpecahan. Dan kegagalan Konstituante untuk memecahkan masalah pokok dalam menyusun Undang-Undang Dasar baru, disebabkan karena tidak pernah mencapai quorum 2/3 seperti yang diharuskan.
Untuk mengisi hal tersebut, maka pada tangga 22 April 1959 atas nama pemerintah, Presiden memberikan amanatnya di depan sidang pleno Konstituante yang berisi anjuran agar konstituante menetapkan saja Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar yang tetap bagi Republik Indonesia. Ternyata setelah diadakan beberapa kali sidang dan diadakan pemungutan suara, quorum yang diharuskan pasal 137 ayat (2) UUDS 1950 tidak tercapai. Hal ini telah dilaksanakan dengan tiga kali pemungutan suara.
Keadaan tersebut dansituasi tanah air pada waktu itu jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden mengucapkan dekritnya.
4. Undang-Undang Dasar 1945 ( 5 Juli 1959-sekarang)
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dasar hukum dari dekrit presiden ini ialahstaatsnoodrecht. Hal ini sama dengan pendapat Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara ordebaru seperti yang dapat dibaca dalam Ketetapan MPRS NO. XX/MPRS/1966.
Adanya istilah orde baru di atas adalah untuk membedakan Majelis Permusyawaratan Sementara pada masa 1959-1965 yang juga disebut masa orde lama yangg dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Sebab sesudah gagalnya gerakan 30 September 1965, maka semboyan banyak dikemukan unttuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Dibawah Undang-Undang Dasar 1945 untuk pertama kalo dilaksanakan pemiliha umum pada tanggal 3 Juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang no. 15 tahun 1969, Undang-Undang mana adalah pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 jo.No. XLII/MPRS/1968.
Sebagai hasil dari pemilihan umum tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971 dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis Permusyawaratan Rakyat dilantik pula. Dalam sidangnya pada tahun 1973 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan bahwa pemilihan umum berikutnyaakan diadakan pada akhir tahun 1977 dalam ketetapnnya No.VIII/MPR/1973.
Pada tanggal 1 oktober 1977 telah dilantik anggota DPR dan MPR hasil pemilihan umum ke II-1977. Dalam Ketetapan MPR No. VII/MPR/1978 diperintahkan pemilihan umum berikutnya adalah tahun 1982.Setelah UUDS 1950 kembali ke UUD 1945, sifatnya masih tetap sebagai UUDS. Namun, pada masa orde baru,konsolidasi kekuasaan lama-kelamaan semakin terpusat. Di sisi lain siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 Tahun. Pada masa orde baru, pemerintah menyatakanakan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun, pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni. Pada masa orde baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat sakral, diantaranya melalui sejumlah peraturan :[9]
- Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945,, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
- Ketetapan MPR no. IV/MPR/1983 tentang referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-UndangNO. 5 tahun 1985 tentang referendum yang merupakan pelaksanaan TAP MPR No. IV/MPR/1983.
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebabotoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
- Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
- Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensial).
- Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945, dan
- Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
C. PERUBAHAN KONSTITUSI
Setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasalnya tentang perubahan. Hal ini disebabkan karena suatu Konstitusi, walaupun ia dirancangkan untuk jangka waktu yang lama, selalu akan tertinggal dari perkembangan masyarakat, sehingga pada suatu saat kemungkinan perkembangan itu terjadi, maka konstitusi itu perlu dirubah. Suatu konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum dasar yang merupakan dasar bagi peraturan perundangan lainnya. Karena tingkatannya yang lebih tinggi, dan juga yang menjadi dasar bagi peraturan hukum lainnya, maka pembuat konstitusi menetapkan cara perubahan yang tidak mudah, dengan maksud agar tidak mudah pula orang merubah hukum dasarnya. Kalau memang suatu perubahan diperlukan, maka perubahan itu haruslah benar-benar dianggap perlu oleh rakyat banyak. Tetapi sebaliknya ada pula Konstitusi yang mensyaratkan perubahan tidak seberat cara diatas, dengan pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu mempersulit perubahan konstitusi.
Lazimnya, yang menyusun konstitusi adalah konstituante. Konstituante ini adalah suatu badan yang dibentuk berdasarkan pilihan rakyat, seperti Konstituante hasil pemilu 1955 yang bertugas menyusun UUD pengganti UUDS 1950. Tapi mungkin pula konstitusi disusun oleh badan yang sejenis dengan konstituante, walaupun mungkin bukan hasil pemilihan umum, umpamanya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menyusun UUD 1945.
Ketidaksempurnaan suatu konstitusi mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama konstitusi adalah hasil karya yang bersifat kompromi dan kedua kemampuan para penyusunnya itu sendiri terbatas. Karena konstituante itu terdiri dari sekelompok manusia yang tidak mungkin mempunyai pandangan politik yang sama, dan sering pula kepentingannya berbeda-beda, maka hasil karya mereka pun yaitu konstitusi merupakan kompromi dari berbagai aliran dan kepentingan.
Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia. Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi.Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.
Menurut C.F Strong ada empat macam prosedur perubahan kosntitusi:
a. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetap yang dilaksanakan menurut pembatasan-pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi melalui beberapa macam kemungkinan.
- Pertama, untuk mengubah konstitusi, sidang pemegang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu (kuorum) yang ditentukan secara pasti
- Kedua, untuk mengubah konstitusi maka lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan terlebih dahulu dan kemudian diselenggarakan pemilihan umum. Lembaga perwakilan rakyat harus diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan wewenangnya untuk mengubah konstitusi.
- Ketiga, adalah cara yang terjadi dan berlaku dalam sistem majelis dua kamar. Untuk mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan sidang gabungan. Sidang gabungan inilah, dengan syarat-syarat seperti dalam cara pertama, yang berwenang mengubah kosntitusi.
- Keempat, adalah perubahan konstitusi yang dilakukan rakyat melalui suatu referendum. Apabila ada kehendak untuk mengubah kosntitusi maka lembaga negara yang diberi wewenang untuk itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat melalui suatu referendum atau plebisit. Usul perubahan konstitusi yang dimaksud disiapkan lebih dulu oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. Dalam referendum atau plebisit ini rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur dalam konstitusi.
- Kelima, adalah perubahan konstitusi yang berlaku pada negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara bagian. Perubahan konstitusi pada negara serikat harus dilakukan dengan persetujuan sebagian terbesar negara-negara tersebut. Hal ini dilakukan karena konstitusi dalam negara serikat dianggap sebagai perjanjian antara negara-negara bagian. Usul perubahan konstitusi mungkin diajukan oleh negara serikat, dalam hal ini adalah lembaga perwakilannya, akan tetapi kata akhir berada pada negara-negara bagian. Disamping itu, usul perubahan dapat pula berasal dari negara-negara bagian.
- Keenam, adalah perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lemabag negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Cara ini dapat dijalankan baik pada Negara kesatuan ataupun negara serikat. Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga negara khusus yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan dapat pula berasal dari lembaga negara khusus tersebut. Apabila lembaga negara khusus dimaksud telah melaksanakan tugas serta wewenang sampai selesai,dengan sendirinya lembaga itu bubar.
Hans Kelsen mengatakan bahwa kosntitusi asli dari suatu negara adalah karya pendiri negara tersebut. Dan ada beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen yaitu :
- Perubahan yang dilakukan diluar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan oleh konstitusi tersebut, dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu organ khusus yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi.
- Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh dewan perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu.
Miriam Budiarjo mengemukakan adanya empat macam prosedur perubahan konstitusi, yaitu :
- Sidang badan legislatif ditambah beberapa syarat misalnya ketentuan kuorum dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerima perubahan.
- Referendum atau plebisit, contoh : Swiss dan Australia.
- Negara-negara bagian dalam suatu negara federal harus menyetujui, Contoh : Amerika Serikat.
- Musyawarah khusus (special convention), contoh : beberapa negara Amerika Latin.
Dengan demikian apa yang dikemukakan Miriam Budiarjo pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.Di Indonesia, perubahan konstitusi telah terjadi beberapa kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejak Proklamasi hingga sekarang telah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar dalam delapan periode yaitu :
1. Periode 18 Agustus 1945 – 27 desember 1949
2. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
4. Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober
5. Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000
6. Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001
7. Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002
8. Periode 10 Agustus 2002 – sampai sekarang
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 terdiri dari :
1. Pembukaan (4 alinea) yang pada alinea ke-4tercantum dasar negara yaitu Pancasila.
2. Batang Tubuh (isi) yang meliputi :
- 16 Bab
- 37 Pasal
- 4 aturan peralihan;
- 2 Aturan Tambahan.
3. Penjelasan
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembentukan awal konstitusi di Indonesia adalah melalui sidang PPKI pertama pada saat sehari sesudah kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dimana, PPKI menetapkan dan mengesahkan bahwa konstitusi Indonesia yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi, pergolakan terus terjadi didalam Negara Republik Indonesia, karena Belanda terus berupaya untuk kembali menduduki Republik Indonesia. Melalui Agresi Militer 1 dan 2, akhirnya Belanda berhasil menduduki Indonesia dengan merubah bentuk negara Indonesia menjadi Negara Serikat, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS), disamping itu juga merubah konstitusi RI menjadi UUD RIS.
Indonesia terus mengalami perubahan konstitusi, dari UUD 1945, UUD RIS, hingga kembali lagi pada UUD 1945. Adapun perubahan konstitusi yang pernah dialami oleh negara RI adalah sebagai berikut :
1. Periode 18 Agustus 1945 – 27 desember 1949 (UUD 1945)
2. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 (RIS)
3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 (UUDS’50)
4. Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober (UUD 1945)
5. Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000
6. Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001
7. Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002
8. Periode 10 Agustus 2002 – sampai sekarang
Konstitusi Indonesia terus mengalami perubahan karena konstitusi yang dimiliki Indonesia merupakan konstitusi sementara. Sehingga, konstitusi tersebut dapat terus dirubah sesuai kebutuhan zaman dan berdasarkan peraturan serta kebijakan yang berlaku.
B. SARAN
Dalam perubahan kontitusi di Indonesia sebaiknya pemerintah untuk kedepannya bisa membuat konstitusi lebih baik lagi.Agar susunan pemerintahan pun bisa berjalan baik sebagaimana mestinya,selain itu diharapakan agar konstitusi yang dibuat tidak merugikan pihak lain terutama warga negara indonesia.
Sebagaimana diketahui apabila konsttusidalam suatunegara itu baik,dan dijalankan oleh penegak yang baik pula ,maka kesejahteraan warga negara pun tercapai.Konstitusi yang dibuat hendaknya sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan yang sebenarnya ,agar tidak terjadi penyimangan ataupun penyelewengan yang dapat merugikan berbagai pihak.
DAFTAR PUSTAKA
- Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
- Asshidiqqie, Jimly. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : Rajawali Press.
- Indra, Mexsasai. 2011. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung : Refika Aditama.
- Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.
- Soehino. 1986. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty.
- (Online). yanawulan.blogspot.com. Di akses 21 Maret 2013.
- (Online). Id.Wikipedia.Org. Di akses 24 Maret 2013.
- (Online). jakarta45.wordpress.com . Di akses 21 Maret 2013.
[1]. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Cetakan Kelima, 1983. Hlm. 62.
[2]. Monarcho machen yaitu suatu aliran yang membenci kekuasaan raja yang mutlak.
[3]. Kaum calvisnisme yaitu golongan orang yang memperjuangkan kebebasan politik dan kemerdekaan negara serta demokrasi.
[4]. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Cetakan Kelima, 1983. Hlm. 65.
[5]. Ibid., hlm. 65.
[6]. Periksa : yanawulan.blogspot.com di akses 21 Maret 2013.
[7]. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Cetakan Kelima, 1983. Hlm. 90.
[8]. Perjanjian Renville berisi :
- Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
- Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
[9]. Kaelan.2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta :Paradigma. Hal. 55.
0 komentar:
Posting Komentar