Rabu, 22 Januari 2014

الفرض أفضل من النفل

BAB I



KATA PENGANTAR

الحمد لله الذى فقّهنا ولسلوك شرعه نبّهنا, والصلاة والسلام على من ذوى الأحكام, محمّد صلى الله عليه وسلم مصابيح الظلام, وعلى أله وصحبه وبارك وسلم.

Puji syukur Alhamdulillah merupakan kewajiban yang harus kita haturkan kepada Allah swt. Tuhan jagat raya yang tak henti-hentinya mencucurkan segala nikmat, rahmat serta ma’unah-Nya kepada kita semua.

Shalawat serta salam tak henti-hentinya kita curahkan kepada kekasih Allah yang diberi amanat sebuah syari’at untuk kemaslahatan umatnya, baginda Rasulullah Muhammad saw. yang selalu memberi kita semua tauladan yang santu.

Sebuah makalah yang ada saat ini merupakan secuil dari pembahasan kaidah fiqhiyyah yang kaidahnya tergolong dalam kelompok قواعد كلّية dengan pembahasan kaidah yang kedua puluh satu yang berbunyi : الفرض أفضل من النفل “Fardlu Lebih Utama Daripada Sunah”. Disebut kaidah kulliyah karena maslah yang dicakup tidak hanya terbatas pada satu bab fiqih saja.

Bentuk rasa terima kasih penulis yang tertuju kepada Bapak Dosen pengampu mata kuliah Kaidah Fiqhiyyah pada semester tiga Prodi. Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fak. Syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, yang tak lelah selalu membimbing kita semua, dan teruntuk semua teman-teman seperjuangan.

Tak lupa juga untuk yang terakhir kalinya, kritik serta sarang yang membangun selalu penulis harapkan agar supaya terus berusaha lebih baik lagi, karena apa yang sudah penulis persembahkan ini masihlah tak luput dari banyak kekurangan.







BAB II

PENDAHULUAN 

A. LATAR BELAKANG 

Sebagai hamba yang diciptakan oleh tuhannya, pastilah ada banyak ketentuan hukum atau peraturan yang harus ditaatinya. Begitu juga dengan kita semua umat islam yang dituntut untuk patuh kepada syari’at islam, yang di dalamnya banyak sekali ketentuan-ketentuan, adakalanya ketentuan tersebut wajib, adakalanya sunah, makruh, dan sebagainya. Oleh karenanya, agar sebuah hukum tidak hanya di jalankan tanpa mengetahui dasar-dasarnya, maka sangatlah dianjurkan untuk dikaji secara mantap.

Banyak ibadah yang setiap harinya dijalankan, dan bermacam-macam juga hukumnya, seperti halnya shalat ada yang hukumnya wajib, ada yang berhukum sunah. Kedudukan wajib dan sunah pun berbeda, banyak para ulama yang bersilang pendapat, ada yang mengatakan berbeda dari sisi pahalanya, ada juga yang berkata berbeda dari sisi obyek dan pelaksanaannya. Yang pasti, secara umum semua orang sudah bisa menyimpulkan dengan gambaran yang sederhana, kalau sebuah pekerjaan tersebut lebih ditekankan, maka di balik itu kadar nilai imbalannya juga bernilai lebih tinggi daripada pekerjaan yang tidak seberapa ditekankan.

Pemahaman makna secara mendalam akan sebuah ketentuan tersebut juga sangat penting dan ditekankan sekali, dan juga memahami perbedaan antar fardlu itu sendiri dengan sunah, dan juga perbedaan makna fardlu kifayah dan fardlu ‘ayn, dan masih banyak lagi yang lebih jelasnya akan penulis bahas pada bab-bab selanjutnya. 







BAB III

PEMBAHASAN 

A. ULASAN KAIDAH 

الفرض أفضل من النفل

“FARDLU LEBIH UTAMA DARIPADA SUNAH”

Ritual ibadah dalam Islam memiliki karakter yang berlainan antara satu dengan yang lainnya. Ada ibadah yang merupakan suatu keharusan yang dikenal dengan istilah fardlu atau wajib, dan ada pula yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunnah). Perbedaan karakteristik semacam ini memberi pengaruh pada tinggi-rendahnya derajat ibadah tersebut serta besar-kecilnya kadar pahala yang akan diperoleh. Ibadah fardlu, dalam konteks ini dianggap lebih memiliki keutamaan dibandingkan dengan yang sunnah, karena secara logis keharusan untuk mengamalkannya telah menunjukkan bahwa ibadah semacam ini memiliki makna yang pentingdan krusial dalam pandangan syara’.

Perbandingan peringkat antara ibadah fardlu dengan sunnah, jika merujuk pada pendapat Ibnu Hajar dalam al-Tuhfah, batas maksimalnya mencapai70 derajat, satu ibadah fardlu yang dikerjakan berhak atas imbalan pahala senilai 70 kali pelaksanaan ibadah sunnah. Pendapat ini senada dengan komentar al-Haramain yang menyatakan bahwa Allah swt. telah memberi ketentuan pada Nabi-Nyaakan kewajiban beberapa amal ibadah, yang tidak diwajibkan pada selain beliau (al-Khushushiyyat). Pemberian ini semata-mata merupakan bentuk pengagungan yang diberikan Allah swt. kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad saw., dengan konsekuensi akan lebih memperbesar nilai pahala hingga 70 kali lipat dibanding ibadah yang tidak diwajibkan[1].

Sementara al-Zarkasyi dalam al-Mantsur fi al-Qawa’id mengemukakan, ketinggian derajat fardlu tidak hanya sebanding dengan 70 kali ibadah sunah, akan tetapi bisa lebih dari itu. Bahkan menurutnya, bisa mencapai derajat yang hanya Allah swt. saja yang tahu ketinggian kadarnya[2].

Adapun ibadah fardlu disini meliputi fardlu iltizam, seperti puasa nadzar, atau fardlu ‘ain, seperti shalat lima waktu, atau fardlu kifayah, seperti shalat jenazah[3]
DASAR KAIDAH 

Kaidah ini merupakan kesimpulan beberapa hadits yang menerangkan pengertian di atas dengan beberapa redaksi yang berbeda, diantaranya hadits qudsi yang diriwayatkan Ibnu Khuzaymah ra. :

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال في شهر رمضان من تقرب فيه بخصلة من خصال الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فريضة فيه كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه

“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda tentang keutamaan bulan Ramadlan dibandingkan bulan-bulan lainnya; Barang siapa melakukan taqarrub (ibadah sunah) kepada Allah swt. di bulan Ramadlan, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia melakukan satu ibadah fardlu di bulan lain. Dan barang siapa melakukan satu ibadah fardlu di bulan Ramadlan, maka seperti halnya ia mengerjakan 70 kali ibadah fardlu pada selain bulan itu. ”

Awalnya, hadits ini menitik-beratkan pada keutamaan bulan Ramadlan, namun dalam perkembangan selanjutnya, sebagian ulama seperti Ibnu Qasim, al-Subuki, dan lain-lain, menjadikannya sebagai pijakan dalil pokok munculnya kaidah ini melalui pemahaman yang berbanding lurus dengan kandungan hadits tersebut, sehingga ketentuan yang dihasilkan juga dapat diberlakukan pada ibadah selain di bulan Ramadlan.

Sedangkan menurut al-Syafi’I, al-Haramain, dan al-Rafi’I, metode penggalian hukum dari hadits di atas adalah dengan proses analogi (qiyas), baik qiyas awlawi[4] ataupun qiyas musawi[5].

Kalau diteliti lebih jauh, ternyata hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di atas termasuk katagori hadits dla’if. Oleh karena itu para ulama bersilang pendapat, terutama dalam masalah apakah hadits dla’if bisa dijadikan landasan penggalian hukum atau tidak.

Menurut Ibnu Qasim, hadits di atas bisa dijadikan sebagai landasan penetapan hukum. Sebab hadits itu hanya sebagai mediator pendorong untuk melakukan sesuatu kesunahan atau sebagai stimulus untuk melaksanakan kewajiban. Sedangkan Syeikh Hasan al-Aththar mengatakan : hadits itu bisa dibuat sebagai landasan melakukan fadla’il al-A’mal dengan syarat, hadits tersebut tidak dalam derajat terlalu dla’if dan atau tidak ada hadits shahih yang menentangnya (ta’arudl).

Dalam perkembangannya, al-Nawawi menjadikan hadits Ibnu Khuzaimah ra. di atas sebagai landasan kaidah ini. Dengan argumen, hadits tersebut tidak terlalu dla’if dan dikuatkan dengan hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh imam Bukhari ra. yang berbunyi :

عن أبي هريرة قال النبي صلي الله عليه وسلم فيما يحكيه عن ربه, إن الله قال : من عادى لي وليا فقد أذنته بالحرب وما تقرب إليّ عبدى بشئ أحب إليّ مما افترضته عليه وما يزال عبدى يتقرب إليّ بالنوافل حتى أحبه - رواه البخاري

“Barang siapa memusuhi kekasih-Ku, maka Aku perkenankan untuk memeranginya. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub pada-Ku yang lebih Aku senangi, selain apa yang telah Aku wajibkan. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku dengan ibadah sunnah kecuali Aku mencintainya” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan : 

قال صلي الله عليه وسلم فيما يحكيه عن ربه وما يتقرب إليّ المتقربون بمثل أداء ما افترضت عليهم - رواه البخاري

“Dan tidak ada amalan orang-orang yang bertaqarrub kepada-Ku, -yang lebih Aku cintai- yang menyamai pelaksanaan apa yang telah Aku wajibkan.” (HR. Bukhari)

Dan juga sabda Nabi saw. yang mengisahkan firman Allah swt. : “Orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Ku (dengan ibadah sunnah) tidak akan dapat mendekatkan diri kepada-Ku sebagaiman menjalankan apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya” 
DISKURSUS FARDLU DAN SUNAH 

Yang perlu kita perhatikan dalam upaya memahami makna fardlu dalam kaidah ini adalah dengan memahami universalitas fardlu itu sendiri. Yang dimaksud fardlu di sini adalah semua jenis fardlu, misalnya fardlu iltizam[6] seperti nadzar, dan fardlu asli[7] seperti shalat lima waktu.

Sedangkan untuk memahami perbedaan fardlu ‘ayn dan sunnah kifayah adalah dengan melihat sisi kemanfaatannya. Fardlu ‘ayn adalah suatu ketentuan hukum yang sangat ditekankan oleh syari’at agar dilaksanakan oleh setiap individu. Hal ini berarti tuntutan yang dibebankan harus dipenuhi masing-masing individu tanpa terkecuali. Pelaksanaan fardlu ‘ayn oleh satu atau sebagian orang sama sekali tidak berpengaruh terhadap gugurnya fardlu ‘ayn yang diemban orang lain. Sedangkan sunah kifayah adalah suatu formulasi hukum yang penting namun “tidak begitu” ditekankan, yang dilaksanakan tanpa memandang siapa pelakunya. Dalam definisi ini yang dititikberatkan adalah terwujudnya tuntutan dimaksud, tanpa mempedulikan siapa yang mengerjakan. 

Dari dua definisi di muka, kita dapat membandingkan mana yang lebih utama di Antara keduanya. Apakah fardlu ‘ayn dengan mempertimbangkan penekanan wujudnya oleh tiap individu, atau sunah kifayah dengan memandang kemanfaatannya yang bersifat menyeluruh.

Maksud keutamaan ibadah fardlu yang melebihi ibadah sunah adalah sudut pandang pahalanya, senada dengan apa yang telah dituturkan al-Subuki[8]. Karena, jika kita melihat keutamaan ibadah fardlu, ia berada di atas ibadah sunah jika mempertimbangkan esensi atau hakikatnya (mahiyah). Namun bila dilihat dari sisi pahalanya, maka ibadah sunah pun bisa lebih utama dengan melihat sisi manfaatnya yang bersifat menyeluruh.

Sedangkan dalam hal fardlu kifayah dan fardlu ‘ayn sendiri sebagian para fuqaha dalam menentukan status kewajiaban kolektif ternyata bersilang pendapat. Menurut Ibnu Rif’ah dalam kitab al-Mathlab, fardlu kifayah berubah menjadi fardlu ‘ayn karena dikerjakan. Sebab kedua-duanya, menurut Ibnu Rif’ah, memiliki persamaan dalam karakternya sebagai fardlu, dengan kata lain keduanya sama-sama bersifat wajib. Hanya saja, titik tekan dan obyek pelaksananya yang sedikit berbeda.

Lain dengan al-Barizi[9] yang menegaskan bahwa semua fardlu kifayah tidak bisa diklaim menjadi fardlu ‘ayn hanya dengan alasan sedang dikerjakan. Menurutnya, fardlu kifayah yang berubah menjadi fardlu ‘ayn setelah dikerjakan hanya terbatas dalam beberapa permasalahan saja, seperti pelaksanaannya jihad dan shalat jenazah. Oleh karenanya fardlu kifayah tidak bisa disamakan dengan fardlu ‘ayn, mengingat terdapat perbedaan implementasi yang mendasar di antara keduanya. Yakni, seperti yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya di atas, dalam fardlu kifayah yang lebih ditekankan adalah tujuan yang hendak dicapai bersifat kolektif. Sedangkan fardlu ‘ayn merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu.

Sementara al-Nawawi dan al-Rafi’I tidak menganggap bahwa salah satu dari dua pendapat di atas lebih kuat, baik pendapat yang pertama (berubah menjadi fardlu ‘ayn) ataupun yang kedua (tidak berubah menjadi fardlu ‘ayn). Alasannya, karena substansi kaidah ini bersifat nisbi-relatif. Dalam artian, dalam kasus-kasus tertentu status hukum fardlu kifayah bisa berubah menjadi fardlu ‘ayn, namun dalam kesempatan lain tidak. Terbukti dalam masalah Jihad, dimana –sesuai kesepakatan ulama- ketika sedang dikerjakan, maka berubah statusnya menjadi fardlu ‘ayn[10].

Untuk contoh permasalahan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sebagaimana seorang pelajar yang telah berhasil menguasai beberapa bidang ilmu dan mempunyai potensi untuk menguasai materi lain secara lebih luas dan menyeluruh. Menurut pendapat yang lebih kuat, ia diperbolehkan untuk meninggalkan proses belajar yang ia jalani. Masih menurut pendapat ini, ia tidak diwajibkan untuk meneruskan mempelajari bidang selain yang telah ia kuasai. Karena masing-masing disiplin ilmu yang sebenarnya mungkin ia kuasai mempunyai spesifikasi bidang sekaligus hukum sendiri-sendiri. Sehingga apabila ia sudah menguasai satu bidang ilmu, maka ia tidak wajib untuk mempelajari ilmu lain yang belum ia pelajari dan kuasai.

Untuk memudahkan pengatagorian ini, sesuai dengan apa yang disampaikan al-‘Ala’I, yang mendahului al-Ghazali, bahwa selain shalat jenazah dan jihad, segala sesuatu yang termasuk fardlu kifayah tidak akan menjadi fardlu ‘ayn jika telah selesai dilakukan. 

PENGECUALIAN KAIDAH 

Diantara pengecualian kaidah ini adalah :

1. Membebaskan tanggungan hutang pada orang yang kesulitan membayarnya. Pembebasan hutang ini, dinilai lebih utama daripada menunggu sampai ia mampu melunasi[11]. Hukum membebaskan adalah sunah, sedangkan menanti hingga terjadi pelunasan adalah wajib, seperti ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah : 280 sebagai berikut :

و أن تصدّقوا خير لكم ... الأية

“… Dan jika kalian (berkenan) bersedekah, maka hal itu lebih baik bagi kalian”

Selain ayat ini, dalil atas keutamaan membebaskan hutang (sunah) tidak lain karena ia dapat memicu tidak perlunya kewajiban menanti pelunasan hutang.

2. Mengawali salam itu lebih utama daripada menjawabnya. Pada mulanya, memulai salam adakalanya sunah kifayah dan adakalanya sunah ‘ayn. Jika orang yang hendak disalami berjumlah banyak, maka hukumnya sunah kifayah, sesuai dengan hadits :

يجزئ عن الجماعة غدا مروا أن يسلم احدهم و يجزئ عن الجلوس أن يرد أحدهم

“Salam satu orang telah mencukupi bagi sekelompok orang kelak –pada hari pembalasan-. Perintahkanlah agar salah satu dari mereka melakukan salam. Dan orang-orang yang duduk tercukupi oleh (salam) salah satu diantara mereka.”

Sebaliknya, jika yang disalami hanya satu orang saja, maka hukumnya adalah saunnah ‘ayn. Berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. Al-Nur : 61:

فإذا دخلتم بيوتاً فسلّموا على أنفسكم تحيّة من عند الله مباركة طيّبة كذلك يبيّن الله لكم الأيات لعلكم تعقلون

“Apabila kamu sekalian memasuki rumah (dari rumah-rumah ini), hendaklah memberi salam (pada penghuninya), yang berarti memberi salam kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah swt. yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi kamu, agar kamu memahaminya.”

Sementara hukum menjawab salam bisa fadlu kifayah dan bisa pula fardlu ‘ayn. Dua hukum ini tergantung dari objeknya, sebagaimana persoalan di atas. Surat al-Nisa’ ayat 86 adalah merupakan dasar diwajibkannya menjawab salam.

وإذا حيّيتم بتحيّة فحيوا بأحسن منها أو ردوها إن الله على كل شئ حسيبا

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan salam yang sepadan). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”

Mengawali salam hukumnya adalah sunnah namun menjawab salam hukumnya wajib. Seperti yang diterangkan dalam Hadits :

قال صلى الله عليه وسلم وخيرهما الذى بدأ صاحبه بالسلام, الحديت

Nabi saw. bersabda: “….Yang terbaik diantara dua orang adalah yang memulai salam kepada sahabatnya…. ”

Ibnu Hajar al-Haytami dalam al-tuhfah menyatakan, keutamaan sunnah dalam masalah salam ini sebenarnya bukan karena esensi (mahiyah) memulai salam itu sendiri, sebab hal itu juga terdapat di dalam perkara wajib, melainkan karena dengan memulai salam akan dapat mendorong timbulnya “ketentraman” bagi orang lain secara umum -hanya- dengan menjawabnya[12].

3. Adzan (sunnah kifayah) lebih utama daripada menjadi imam shalat (fardlu kifayah)[13]. Sebab dalam shalat jama’ah tanpa disertai dengan niat menjadi imam pun, seseorang sudah dapat dikatakan menjadi imam. Dengan demikian, adzan dan imamah yang sebenarnya hanya merupakan sunnah kifayah hukumnya lebih utama dari pada menjadi imam (imamah) yang notabe hukumnya fardlu kifayah[14].

4. Wudlu’ sebelum masuknya waktu shalat (sunah) lebih unggul dibandingkan dengan wudlu’ sesudah tiba waktunya shalat. Seperti yang kita ketahui, kewajiban wudlu’ berlaku jika waktu shalat sudah masuk. Namun kewajiban ini tidak lebih utama dibandingkan dengan wudlu’ yang dilakukan sebelum masuknya waktu shalat[15].

Syaikh ‘Izzuddin menambah satu masalah, yakni orang yang meninggalkan satu shalat tetapi dia tidak yakin terhadap shalat yang ditinggalkan, kemudian dia qodlo’ lima waktu (satu untuk mengqodlo’ fardlu dan yang empat sunah, akan tetapi menjadi wajib karena merupakan wasilah untuk menyempurnakan kefardluan), yang demikian itu lebih utama melakukan shalat sunnah yang jelas kesunnahannya daripada empat fardlu di atas.

Kemudian Ibnu Abi Shoif[16] menambahkan dua contoh dari hadits yang menceritakan pahala orang yang meninggalkan bertengkar dan hadits yang menerangkan tentang orang yang sabar:

1. Hadits yang menerangkan meninggalkan bertengkar.

من ترك المراء بنى الله له بيتا في وسط الجنة, ومن ترك المراء وهو محق بنى الله له بيتا في رياض الجنة, ومن تركه وهو مبطل بنى الله له بيتا في ربض الجنة - أخرجه الترمذي وابن ماجه

2. Hadits yang menerangkan orang yang sabar.

الصبر ثلاثة فصبر علي المصيبة و صبر علي الطاعة وصبر عن المعصية فمن صبر علي المصيبة حتى يردها بحسن عزائها كتب الله له ثلاثمائة درجة ما بين الدرجتين كما بين السماء والأرض ومن صبر علي الطاعة كتب الله له ستمائة درجة ما بين الدرجتين كما بين بخوم الأرضين الى منتهى الأرضين ومن صبر عن المعصية كتب الله له تسعمائة درجة ما بين الدرجتين كما بين بخوم الأرضين الى منتهى العرش.

Contoh sabar:

Ketika paman Nabi, yakni Hamzah wafat dibunuh oleh Wahsyi saat perang Uhud dan perutnya dirobek oleh Hindun kemudian diambil hatinya, dan mereka orang-orang yang musyrik memotong telinganya, hidungnya, kemaluannya maka melihat kejadian itu Nabi pun tidak tega, kemudian Nabi bersumpah bahwa sebagai ganti sahabat Hamzah beliau akan membunuh 70 orang kafir. Kemudian turunlah ayat:

وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصابرين.

Kemudian setelah ayat tersebut turun Nabi membayar kafarat dari sumpahnya yang tidak dilaksanakan dan tidak ditepati janjinya dengan lebih memilih untuk bersabar[17].





DAFTAR PUSTAKA 

Abdul Haq, Ahmad Mubarok, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh –Telaah Kaidah Fiqh Konseptual-, Surabaya : Khalista, cet. II, 2006.

Mohammad Yahya Khusnan Manshur al-Hafidz, Ulasan Nadlom Qawa’id Fiqhiyyah -al-Faro’id al-Bahiyyah-, Tambakberas : Pustaka Al Muhibbin, cet. I, 2009.

Jalaluddin Abd. Rahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, Dar al-Kitab al-Araby, cet. IV, 1998. 

Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, al-Fawa’id al-Janiyyah, Dar al-Fikr, Beirut, cet. I, 1997.





[1]. Seperti halnya kewajiban mengerjakan shalat tahajud bagi Nabi saw. Kewajiban itu hanya berlaku untuk pribadi Nabi saw., tidak bagi umatnya, karena umat Islam hanya disunnahkan mengerjakan shalat tahajud. Periksa Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadlo’ir, Dar al-Kitab al-Arabi, cet. IV, 1998, hal. 100. 
[2]. Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, al-Fawa’id al-Janiyyah, Dar al-Fikr, Beirut, cet. I, 1997, hal. 521.
[3]. H.M. Yahya Khusnan Manshur al-Hafidz, al-Tsamaratu al-Mardliyah; Ulasan Nadhom Qawa’id Fiqhiyyah; al-Fara’id al-Bahiyyah, Pustaka al-Muhibbin, Tambakberas, cet. Pertama, 2009, hal. 176.
[4]. Qiyas awlawi adalah analogi hukum yang ‘illat cabangnya lebih kuat dari pada ‘illat asalnya, sehingga ketetapan hukum yang ada pada masalah cabang lebih ditekankan dari pada masalah asal. Contohnya adalah perintah untuk tidak berkata kasar pada kedua orang tua (QS. Al-Isra’ : 23). Alasan pelarangan ini adalah karena perkataan kasar akan menyakiti hati kedua orang tua. Oleh karenanya, seandainya sang anak melakukan pemukulan kepada salah satu atau kedua orang tuanya, apakah hukumnya sama dengan hukum berkata kasar. Bila masalah tersebut dianalogikan dengan hukum berkata kasar, maka analogi hukum seperti ini dinamakan qiyas awlawi, atau analogi hukum yang ‘illat cabang lebih kuat dari pada ‘illat asal. Pemukulan tersebut dinilai lebih menyakitkan dari pada perkataan, sebab pemukulan akan menyakitkan baik secara fisik maupun psikis. Artinya, ‘illat menyakiti dengan pemukulan (‘illat cabang) lebih kuat dari pada ‘illat menyakiti dengan ucapan (‘illat asal). Baca antara lain, Dr. Abd. Karim Zaydan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, cet. VII, 2001, hal. 219. 
[5]. Qiyas musawi adalah analogi hukum dimana ‘illat asalnya setara dengan ‘illat cabang; tidak ada yang kuat diantara keduanya. Contohnya seperti keharaman memakan harta anak yatim dengan cara yang tidak dibenarkan (QS. Al-Nisa’ : 10). Larangan memakan tersebut karena ada akibat lenyapnya harta si yatim. Sementara ‘illat semacam ini ternyata juga didapati pada cara-cara yang lain, seperti dibakar, ditenggelamkan, dicuri, dan lain sebagainya yang intinya adalah merusak. Dengan demikian, dengan cara apapun tetap diharamkan. Proses analogi yang memiliki kesetaraan sebab seperti inilah yang dinamakan qiyas musawi. Lihat Ibid. 
[6]. Fardlu iltizam adalah fardlu yang berdasarkan keinginan dan kesanggupan pribadi, bukan berupa tuntutan syari’at, seperti nadzar atau janji. Lihat Wuzarah al-Awqaf wa al-Syu’un bi Kuwayt, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah, juz VI, hal. 182. 
[7]. Kewajiban yang berasal dari tuntutan syari’at dengan sisi penekanan yang lebih. Artinya, sejak semula, syari’at telah menggariskan kewajiban ini sehingga bila ditinggalkan akan berakibat ancaman dosa bagi pelakunya.
[8]. Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit, hal. 521.
[9]. Hibatullah bin Abdurrahim al-Barizi. Penulis kitab al-Tamyiz. 
[10]. Sebagai wacana tambahan, ada juga perbedaan pendapat ulama dalam menentukan status hukum salah satu bentuk kasus yang terjadi dalam jihad, yakni ketika ada seorang prajurit yang akan melakukan jihad namun rekomendasinya sangat tergantung pada panglima perang. Ketika sang panglima telah mengijinkannya untuk berperang tapi ditengah-tengah perang imam memintanya agar ia kembali. Dalam kondisi yang seperti ini, menurut pendapat yang kuat (qoul ashah) si prajurit wajib untuk terus berjihad. Ia tidak diperbolehkan untuk mundur dari medan perangnya. Selain kondisi yang semacam ini seluruh ulama sepakat bahwa fardlu kifayah jihad akan berubah menjadi fardlu ‘ayn. Lihat Abdullah bin Sa’id al-Lahji, Idlah al-Qawa’id, Surabaya : Dar al-Rahmah, 1410 H, hal. 107.
[11]. Muhammad Tajuddin al-Subuki, sebenarnya membebaskan hutang ini telah mencakup masa penantian pembayaran hutang. Karena, pada dasarnya pembebasan hutang adalah penundaan penagihan hutang. Dengan demikian, dalam kasus ini terdapat “ketercakupan” unsur yang bersifat khusus pada unsur yang bersifat umum. Yang terjadi disini, menurut al-Subuki, adalah keutamaan berupa kewajiban menunggu pembayaran hutang yang dapat berimplikasi pada pembebasan hutang, serta keutamaan pembebasan hutang pada kewajiban wujudnya penantian hutang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa, yang terjadi adalah keutamaan kewajiban murni pada kewajiban murni lainnya. Lihat Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit, hal. 524.
[12]. Ibnu Hajar al-Haytami, Tuhfah al-Muhtaj, Dar Ihya’ al-Turats al-Araby, II/219, dan Jalaluddin Abd. Rahman al-Suyuthi, Op.cit, hal. 101. 
[13]. Al-Rafi’I tidak setuju terhadap pengecualian ini. Sebab, menurut beliau shalat jama’ah yang sebenarnya cuma wajib kifayah pada akhirnya akan sama dengan hukum imamah, yakni fardlu kifayah. Dalam pandangan al-Rafi’I, hukum imamah adalah sunah. Dengan demikian, keutamaan adzan terhadap imamah sebenarnya adalah keutamaan sunnah di atas sunnah yang lain. 
[14]. Abdullah bin Sulayman al-Jarhazi, al-Mawahib al-Saniyyah, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, cet. I, 1997, hal. 528.
[15]. Syaikh Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Ubbadi al-Lahji al-Hadlrami, Idlah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Surabaya, cet. III, 1410 H, hal. 78.
[16]. Ibnu Abi Shoif wafat tahun 608 H di Makkah, nama aslinya adalah Muhammad bin Ismail bin Ali bin Abi al-Shoif al-Yamani. Beliau adalah seorang yang arif atau bijaksana tentang madzhab syafi’I dan mukim di Makkah dalam beberapa masa untuk mengajar dan berfatwa sehingga terkenal bahwa beliau adalah orang ahli fiqihnya tanah Haram. Diantara kitab yang beliau karang adalah Nuktatu al-Tanbih.
[17]. Tafsir Munir, juz I, hal. 470.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More